Eklampsia Menyebabkan Kejang Pada Ibu Hamil

Sekitar 10 persen Ibu hamil di seluruh dunia mengalami hipertensi atau tekanan darah tinggi. Preeklampsia dan eklampsia cenderung terjadi pada ibu hamil dengan hipertensi. Preeklampsia sendiri adalah komplikasi kehamilan akibat tekanan darah tinggi atau pun hal lain.

Meski demikian, eklampsia tidak terjadi pada sebagian besar wanita hamil yang mengalami preeklampsia. Hanya sebagian kecil yang mengalaminya tanpa bisa diprediksi secara pasti. Walau penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang dapat berperan menyebabkan eklampsia, antara lain: gangguan pada pembuluh darah, diet atau asupan gizi, gen, sistem saraf dan otak (neurologis), gangguan pada sistem kekebalan tubuh, faktor hormonal, gangguan jantung, dan infeksi. Berbeda dengan epilepsi, kejang pada eklampsia tidak berhubungan dengan gangguan di otak secara langsung meskipun kelainan saraf pada otak bisa menjadi faktor yang berperan dalam munculnya gangguan ini.

Siapa Lebih Berisiko
Dari kasus yang telah ada, ditemukan bahwa wanita dengan preeklampsia berisiko tinggi mengalami kejang jika mengalami kondisi-kondisi tertentu. Selain mengalami preeklampsia berat, wanita yang mengalami kondisi di bawah ini lebih berisiko mengalami eklampsia.

Sakit kepala.
Hipertensi.
Saat hamil berusia lebih dari 35 tahun atau kurang dari 20 tahun.
Hamil pertama.
Hamil kembar.
Memiliki riwayat malnutrisi.
Memiliki gangguan ginjal.
Mengalami diabetes.
Sakit perut.
Hasil pemeriksaan darah yang tidak normal.
Gangguan penglihatan.
Berat badan berlebih.
Sulit buang air kecil.
Selain itu, obesitas, gangguan pembekuan darah, dan lupus juga diduga menjadi faktor risiko pada eklamsia. Ciri utama eklampsia adalah hipertensi dan tingginya kadar protein dalam urine setelah usia kehamilan 20 minggu. Tekanan darah tinggi pada preeklampsia akan menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah yang mengganggu aliran darah. Kondisi ini mengakibatkan pembengkakan pembuluh darah yang akhirnya mengganggu kerja otak, sehingga memicu kejang. Sedangkan proteinuria atau adanya protein dalam urine akan terjadi karena preeklampsia mempengaruhi fungsi ginjal. Meski demikian, terdapat kasus di mana eklampsia terjadi tanpa adanya hipertensi atau pun protein dalam urine.

Mendeteksi Gejala dan Menangani Eklampsia
Gejala eklampsia umumnya diawali dengan gejala-gejala preeklampsia seperti sakit perut, mual dan muntah, sakit kepala, gangguan penglihatan seperti pandangan kabur, nyeri otot, serta bengkak pada tangan dan wajah. Dengan kata lain, eklampsia adalah preeklampsia yang telah memburuk dan memengaruhi otak sehingga menimbulkan kejang. Gejala eklampsia sendiri adalah kejang, pingsan, dan gelisah berat. Jika terdapat gejala-gejala tersebut selama kehamilan, Bunda perlu segera ke dokter untuk mendapat pemeriksaan dan penanganan yang tepat.

Eklampsia merupakan kegawatdaruratan medis pada ibu hamil. Jika tidak ditangani sejak dini, maka ibu hamil dengan preeklampsia, atau lebih parah lagi yang sudah mengalami eklampsia, berisiko mengalami komplikasi berupa: kerusakan saraf otak permanen, perdarahan otak, kerusakan ginjal dan hati, atau yang paling fatal yaitu kematian. Sekitar 13 persen angka kematian ibu di seluruh dunia diduga disebabkan oleh eklampsia.

Kejang dalam eklampsia umumnya terjadi selama 60-75 detik, dan dapat terbagi menjadi dua fase. Fase pertama berlangsung sekitar 15-20 detik, dan fase kedua 60 detik. Sementara fase koma tidak memiliki durasi yang pasti. Setelah serangan, pasien akan sadar tanpa ingat sempat mengalami kejang. Trauma pada kepala, lidah tergigit dan patah tulang adalah komplikasi yang mungkin terjadi saat kejang. Selama kejang terjadi, aktivitas otak akan terganggu sehingga menyebabkan pandangan terpaku, tubuh terguncang, dan menurunnya tingkat kesadaran.

Selain pemeriksaan fisik, memeriksa tekanan darah dan laju pernapasan secara teratur sebagai langkah awal penanganan eklampsia, dokter juga akan melakukan pemeriksaan urine untuk melihat apakah terdapat protein pada urine. Tes kreatinin juga diperlukan untuk mendeteksi kadar kreatinin dalam darah. Kreatinin adalah sisa metabolisme atau zat limbah yang diproduksi otot. Kreatinin tinggi dapat menandakan terdapat gangguan ginjal. Kondisi ini juga bisa terjadi pada preeklampsia, namun kreatinin tinggi pada pemeriksaan darah tidak selalu menandakan bahwa Ibu hamil pasti mengalami preeklampsia. Penting juga memeriksakan diri untuk mendeteksi kemungkinan bahwa gejala-gejala ini bukan disebabkan preeklampsia, tetapi bisa disebabkan oleh kondisi lain seperti diabetes atau penyakit ginjal. Oleh karena itu, pemeriksaan dan kontrol kehamilan rutin ke dokter atau bidan saat hamil merupakan langkah yang penting untuk mendapatkan evaluasi akan kondisi kesehatan bagi Ibu hamil. Pemeriksaan antenatal atau kontrol kehamilan juga berperan penting untuk mendiagnosis dini kemungkinan preeklampsia agar kesehatan Ibu dan janin di dalam kandungan dapat terjaga.

Pengobatan definitif untuk mengatasi preeklampsia adalah dengan proses persalinan. Oleh karena itu, ibu hamil dengan preeklampsia akan dimonitor secara ketat saat menjelang persalinan untuk menentukan langkah persalinan yang tepat. Kondisi ini umumnya akan hilang segera setelah bayi lahir. Namun jika terjadi komplikasi, dokter mungkin akan melakukan pemecahan plasenta dan prosedur operasi Caesar untuk menyelamatkan bayi. Mengeluarkan bayi sesegera mungkin adalah langkah terbaik agar preeklampsia berat tidak menjadi eklampsia. Namun, bayi yang lahir prematur tentu lebih rentan mengalami komplikasi.

Cara terbaik mencegah eklampsia adalah dengan menangani preeklampsia dengan tepat. Antara lain dengan memeriksakan kesehatan kehamilan ke dokter agar tekanan darah dan kadar protein dalam urine terpantau. Dokter juga dapat memberikan obat antikejang dan obat untuk menangani hipertensi. Selain itu, selama hamil, pastikan Bunda mengonsumsi cukup kalsium dalam menu harian Bunda. Pada ibu hamil dengan risiko tinggi mengalami preeklampsia, penting dilakukan pengobatan dini untuk mencegah preeklampsia menjadi eklampsia. Dokter mungkin akan memberikan aspirin dosis rendah pada ibu hamil dengan preeklampsia di usia kehamilan sekitar 12 hingga 16 minggu. Pemberian aspirin dosis rendah pada ibu hamil risiko tinggi juga berguna untuk mengurangi risiko bayi lahir prematur dan kematian bayi.

Mengingat bahwa eklampsia merupakan kondisi fatal yang dapat mengancam nyawa ibu dan janin, maka ibu hamil, khususnya dengan preeklampsia, perlu memeriksakan kondisi kehamilannya secara rutin agar kehamilan dapat berlangsung dengan baik.